Bioetanol dan biodiesel pada alga


Kimia Bahan Hayati Laut

 

BIOETANOL DAN BIODIESEL PADA ALGA

 
 

 
 


 
 

 

OLEH :

M. ARMAN AHMAD

051609013

 
 

 
 

PROGRAM STUDY MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS KHAIRUN

TERNATE

2013

 

 

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia memiliki beragam sumber daya yang dapat dijadikan sebagai sumber energi. Saat ini sumber daya energi di negara ini masih tergantung pada minyak, gas, batubara panas bumi, air dan sebagainya. Seiring dengan laju pertambahan kendaraan, konsumsi akan bahan bakar atau BBM semakin meningkat.

Tingkat konsumsi terhadap minyak rata-rata naik 6 % pertahun. Konsumsi terbesar adalah minyak diesel (solar) yang mencapai 22 juta kiloliter pada tahun 2002 sedangkan produksi minyak bumi Indonesia saat ini tinggal 942.000 barrel perhari sehingga Indonesia kini menjadi negara pengimpor bahan bakar minyak. Setelah sebelumnya menjadi negara pengekspor.

Oleh karena itu, untuk memenuhi tingkat konsumsi terhadap minyak dan mendorong pengembangan serta pemanfaatan energi alternatif terbarukan, bahan bakar nabati, diantaranya biodiesel dan bioetanol. Belakangan ini muncul aneka temuan. Mulai dari singkong, ubi jalar, hingga jagung yang diolah menjadi bioetanol. Tetapi dalam perjalannya, perkembangan alih bahan bakar tersebut sering kali terhambat. Benturan dengan kebutuhan pangan menjadi salah satu tantangannya. Sementara gagal panen dan lahan yang dibutuhkan menjadi persoalan lain yang tak bisa diremehkan, terutama di tengah isu pemanasan global.

Bioetanol sendiri diolah dari karbohidrat atau pati yang terkandung dalam bahan alam. Selama ini bioetanol banyak dihasilkan dari tanaman pangan seperti jagung, singkong, dan ubi jalar. Padahal, bahan-bahan ini masih dibutuhkan sebagai penopang bahan pangan. Melalui tulisan ini, penulis mengangkat alga sebagai salah satu solusi alternatif dalam produksi bioethanol yang nantinya dapat menjadi bahan bakar alternatif. Hal ini karena alga tersebar dimana-mana dan kandungan karbohidrat yang lebih tinggi daripada jagung atau umbi-umbian lainnya.

1.2. Tujuan

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :

  1. Mengetahui potensi alga sebagai bahan baku produksi bioethanol
  2. Mengetahui cara mengolah alga menjadi bioethanol dan pemanfaatannya

     

 

II. PEMBAHASAN

2.1. Bahan Bakar Nabati Dari Alga

Alga, khususnya mikroalga uniseluler berwarna hijau sebenarnya telah lama diketahui sebagai sumber bahan baku yang potensial bagi produksi bahan bakar nabati. Mikroalga berpotensi untuk menghasilkan biomasa dan minyak dalam  jumlah signifikan dan dapat dikonversi menjadi biodisel. Mikroalga telah diperkirakan mempunyai produkstivitas biomasa yang lebih tinggi daripada tanaman dalam hal penggunaan lahan yang diperlukan untuk budidaya, diprediksi memerlukan biaya yang lebih rendah dengan hasil yang sama, dan mempunyai potensi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dengan menggantikan bahan bakar fosil. Seperti bahan baku yang berasal dari tanaman, mikroalga dapat digunakan secara langsung atau diproses menjadi bahan bakar cair dan gas dengan menggunakan proses konversi biokimia dan termokimia. Alga kering dapat menghasilkan energi melalui pembakaran langsung, akan tetapi cara ini dirasa kurang tepat untuk diterapkan pada biomasa alga. Metode yang dapat digunakan untuk melakukan konversi mikroalga menjadi bahan bakar minyak atau gas adalah konversi termokimia yang meliputi gasifikasi, pirolisis, hidrogenasi dan liquefaksi. Metode yang lain adalah metode biokimia termasuk fermentasi dan penguraian anaerobik biomassa untuk menghasilkan bioethanol atau biogas. Di samping itu, gas hidrogen juga dapat dihasilkan dari alga dengan menggunakan fotolisis. Dan hal yang paling utama adalah pemisahan dan isolasi lemak triasilgliserol dari mikroalga yang dipanen dapat diubah menjadi biodisel dengan metode transesterifikasi.

Proses produksi biodisel dari mikroalga telah menarik banyak ilmuan untuk menelitinya. Penelitian yang merupakan bagian dari Program Spesies Akuatik oleh Departemen Energi Amerika Serikat menganalisa secara meluas tentang kemampuan mikroalga untuk menghasilkan minyak dan menyimpulkan bahwa potensi produktivitas minyak dari mikroalga mungkin lebih besar dari tumbuhan penghasil minyak seperti kedelai. Serangkaian  penelitian telah difokuskan pada strain mikroalga yang mempunyai kemampuan untuk menghasilan lemak dalam jumlah yang banyak dan mengidentifikasi kondisi budidaya yang akan dapat mendukung mikroalga untuk bisa berproduksi secara optimal. Banyak penelitian berfokus pada kondisi budidaya yang dapat menyebabkan tingginya akumulasi lemak netral pada sel mikroalga (terutama triasil gliserol), misalnya menggunakan pembatasan nutrien seperti pembatasan nitrogen (N) atau fosfor (F). Namun, kelemahan terbesar dari penelitian jenis ini adalah rendahnya produktivitas sel untuk menghasilkan biomasa sehingga secara total, produksi lemak menjadi rendah. Kondisi budidaya yang berfokus pada peningkatan produktivitas biomassa dirasa lebih efektif untuk meningkatkan produkstivitas lemak total. Lebih lanjut, dengan jumlah biomassa alga yang besar dirasa akan lebih layak secara ekonomis untuk memproduksi energi jika dibandingkan dengan jenis bahan bakar nabati yang lain.

2.2. Potensi Produksi Bahan Bakar Nabati Secara Berkelanjutan

Salah satu kelebihan dari mikroalga sebagai bahan baku bahan bakar nabati adalah bahwa mikroalga dapat ditumbuhkan secara efektif dengan input air bersih yang sedikit dan tidak memerlukan banyak lahan seperti tanaman penghasil bahan bakar nabati yang lain, sehingga dapat menghemat penggunaan air bersih. Sebagai contoh, mikroalga dapat dibudidaya dekat dengan laut untuk dapat memanfaatkan garam dan air payau. Oleh karena itu muncul ketertarikan terhadap budidaya mikroalga di perairan asin. Namun, medium potensial lain yang dapat digunakan adalah limbah cair. Telah diakui bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini mikroalga dapat digunakan sebagai sarana pengolahan limbah cair yang murah dan ramah lingkungan jika dibandingkan dengan metode pengolahan limbah yang biasa digunakan. Masalah utama yang dihadapi dalam pemanfaatan limbah cair adalah konsentrasi nutrien yang sangat tinggi, khususnya konsentrasi total N dan total P, serta logam beracun, yang memerlukan pengolahan menggunakan bahan kimia dengan harga yang mahal untuk menghilangkannya selama pengolahan berlangsung. Konsentrasi total P dan N berkisar antara 10-100 mg/l dalam limbah cair perkotaan dan lebih dari 1000 mg/l pada limbah pertanian. Kemampuan mikroalga untuk tumbuh dan mengakumulasi kandungan nutrisi dan logam yang tinggi pada lingkungan secara efektif, menjadikan mikroalga sebagai sarana yang efektif untuk digunakan pada pengolahan limbah cair secara efisien dan berkelanjutan. Namun, telah lama juga diketahui bahwa mikroalga yang ditumbuhkan pada limbah cair dapat digunakan sebagai penghasil energi. Banyak penelitian yang menyatakan bahwa produsi bahan bakar nabati dari mikroalga , khususnya biodisel sangat layak secara ekonomi dan lingkungan.

 

2.3. Alga Laut Penghasil Biodiesel dan Bioetanol

Hanya kira-kira 10% dari 7000 spesies alga hijau (Divisi Chlorophyta) ditemukan dilaut, selebihnya di air tawar. Dikenali dengan warna hijau rumput yang dihasilkan adanya klorofil a dan b yang lebih dominan dibanding pigmen lain. Pigmen-pigmen terdapat dalam plastid dan sangat tahan terhadap cahaya Panas. Dinding sel lapisan luar terbentuk dari bahan pektin sedangkan lapisandalam dari selulosa. Contohnya : Entermorpha, Caulerpa, Halimeda dan Spirulina.

Proses reproduksi yang terjadi pada alga Spirulina adalah dengan cara aseksual. Filamen yang telah masak putus beberapa bagian membentuk sel baruyang bentuknya biconcave selanjutnya bagian ini membentuk koloni sel yangterdiri dari 2-4 sel dan memisahkan diri dari filamen induk menjadi filamen baru. Sel-sel dalam filamen baru kemudian bertambah jumlahnya, sitoplasma menjadi panjang.

Menurut Santilan dalam budidaya Spirulina diperlukan penambahan mineral seperti karbon, nitrogen, sulfur, potassium, posfor. Pemanenan alga Spirulina platensis dapat dilakukan dengan cara meyaring alga tersebut dengan menggunakan saringan kain nylon yang berukuran 60-70 mesh. Air hasil penyaringan dapat digunakan lagi untuk budidaya Spirulinaplatensis dengan penggunaan ulang sebanyak 2-3 kali. Alga Spirulina platensis yang diperoleh dari hasil pemanenan dapat dikeringkan dengan cara penjemuran dibawah sinar matahari pada suhu 32-35oC selama 6-8 jam, atau dengan alat pengering modern misalnya oven pada suhu 80-90 oC selama 4-6 jam. Protein dari S.platensis kering dapat mencapai lebih dari 60%, kandungan vitaminnya tinggi terutama vitamin B12 .

2.4. Metode Pengolahan Alga Hijau Menjadi Bioethanol

  1. Identifikasi sampel alga. Sampel alga diidentifikasi menggunakan Metode Smith dan pada pemeriksaan mikroskopis itu diidentifikasi sebagai spesies Spirogyra sp.
  2. Pengolahan biomassa, sampel dikeringkan dengan sinar matahari atau dikeringkan dalam oven hingga kadar air sekitar 40%. Alga kering dihaluskan dan disaring sehingga diperoleh serbuk biomassa Spirogyra sp digunakan untuk fermentasi atau dicampur air dengan perbandingan 1:15, kemudian dihancurkan dengan blender atau mesin.
  3. Sakarifikasi oleh biomassa Aspergillus niger, Sakarifikasi adalah proses penguraian polisakarida menjadi bentuk yang lebih sederhana seperti glukosa, fruktosa dan galaktosa. Untuk sakarifikasi biomassa alga digunakan Aspergillus niger. Aspergillusniger adalah selulolitik dan amilolitik di alam karena memproduksi selulosa dan amilase. Enzim ini menghidrolisis selulosa dan pati Spirogyra sp dan melepaskan glukosa. Sakarifikasi dilakukan selama enam hari pada 300C dan proses tersebut dipantau setiap 24 jam untuk gula yang dilepaskan melalui metode ini. Aspergillus niger dapat menghidrolisis dan menghasilkan gula sederhana yang dapat langsung dimanfaatkan oleh Saccharomycescerevisiae untuk produksi etanol.
  4. Fermentasi oleh Saccharomyces cerevisiae, Setelah enam hari mengalami sakarifikasi dengan Aspergillus niger. Saccharomyces cerevisiae ditambahkan ke termos untuk produksi fermentasi bioethanol. Proses ini dilakukan selama enam hari lain pada suhu 300C dimana setiap 24 jam sampel diambil untuk perkiraan alkohol (bioetanol) dengan metode Caputi dkk. Pada penelitian lain dapat digunakan enzim aminase untuk membantu proses fermentasi dan proses fermentasi 10 hari memiliki kualitas yang lebih baik.
  5. Destilasi, destilasi dilakukan untuk memisahkan etanol dari beer. Dengan memanaskan larutan pada suhurentang 78-100oC akan mengakibatkan sebagian besar etanol menguap, dan melalui unit kondensasi akan bisa dihasilkan etanol dengan konsentrasi 95% volume. Hasil penyulingan berupa 95% etanol dan tidak dapat larut dalam bensin. Agar larut, diperlukan etanol berkadar 99% atau disebut etanol kering. leh sebab itu, perlu destilasi absorbent. Etanol 95% itu dipanaskan 100oC. Pada suhu itu, etanol dan air menguap. Uap keduanya kemudian dilewatkan kedalam pipa yang dindingnya berlapis zeolit atau pati. Zeolit akan menyerap kadar air tersisa hingga diperoleh etanol 99% yang siap dicampur dengan bensin.

Berikut adalah gambar skenario mekanisme pembuatan bioetanol dan biodiesel dari alga laut.


Sumber : Tatang H. Soerawidjaja (2005)

 

 

 

 

RUJUKAN

Soerawidjaja, Tatang H. 2005. Membangun Industri Biodiesel di Indonesia. Makalah Ilmiah Forum Biodiesel Indonesia. 16 Desember 2005. Bandung

http://iamnovhie-yovita.blogspot.com/2013/02/bioetanol-dari-alga-hijau.html

http://jurnal.fmipa.unila.ac.id/index.php/sains/article/view/354/pdf


 

Tinggalkan komentar